Langsung ke konten utama

Prioritas

Seorang kawan pernah meminta masukan untuk memilih pasangan tempat kerja baru. Dari beberapa pilihan, dia sudah buatkan daftar perbandingan keduanya. Yang dibandingkan pun beragam, dari yg standar seperti lokasi & gaji, hingga visi misi. Di antara pilihan tersebut, jelas dia bingung karena tidak ada yang paling ideal. Pasti ada plus minusnya. Dalam seni membandingkan seperti ini, kita tak kan bisa membuat keputusan, tanpa satu hal: prioritas.

Dalam bukunya, Problem Solving 101, Ken Watanabe memberikan tips praktikal dalam membandingkan beragam pilihan dan membuat keputusan. Salah satu caranya adalah dengan membuat bobot dari kriteria yang kita bandingkan. Ken memberikan contoh seorang anak yang bercita-cita menjadi pesepak bola profesional, kebingungan dalam memilih sekolah SMA yang akan mendukung karirnya. Pilihannya antara dua: sekolah yang dekat dan sangat terkenal prestasi sepak bolanya, namun persaingan tinggi untuk klubnya. Yang kedua agak jauh dan tak kalah terkenal sepak bolanya, dan relatif lebih rendah persaingan dalam timnya. Akhirnya dia memilih untuk bersekolah di sekolah yg kedua, setelah memprioritaskan peluang kesempatan terpilih sebagai tim utama klub sepak bola yg lebih tinggi, dibanding dengan hal lainnya.

Berhubung agak lupa n lagi gak megang bukunya, jadi banyak detil yg dilewatin sih. Intinya, dalam banyak kasus, kita seringkali tak jumpai pilihan yang paling sempurna. Nah, jika kita harus memilih satu di antara beberapa, maka sepatutnya kita memperhatikan, hal apa yang kita anggap paling penting atau lebih penting dari lainnya. Dan secara tak sadar, sesungguhnya setiap keputusan yang kita ambil selama ini pun, mencerminkan nilai (values) yang kita percaya dan prioritaskan dari banyak nilai lainnya.
Misal dalam kasus memilih tempat kerja, ada orang yang lebih memilih gaji tinggi walaupun jauh, atau pekerjaan yg lebih sesuai passion walau pendapatan tak setinggi toko sebelah, atau bahkan lebih mementingkan keinginan ibu melihat anaknya terjamin hidupnya (baca: jadi pns) daripada fleksibilitas kerja di tempat lain. Setiap orang punya nilai yang dipercaya, dan bisa dibilang tak ada yang salah dengan pilihan yang diambil. Masing-masing bebas memilih nilai yang dianutnya, yang digunakan sebagai kompas dalam hidupnya.

Nilai atau prinsip ini pun ada yang bersifat global maupun lokal. Bedanya, nilai global itu biasanya adalah 'way of life' seseorang, atau 'jalan ninja' kalau di Naruto. Kalau sebagai umat beragama, jalan hidup tersebut adalah agama yang kita anut. Misal saya sebagai muslim, maka islam adalah jalan hidup yang saya jalani. Nilai-nilai yang ada dalam ajaran islam pun otomatis menjadi nilai global yang saya yakini dalam kehidupan. Nilai yang sekali terbentuk, maka sulit untuk berubah.

Sedang nilai lokal, adalah nilai yang kita anggap lebih penting dari nilai lainnya yang sama2 dibolehkan oleh global value kita. Yang ini biasanya bersifat terbatas atau sementara, tergantung konteks masalah yang dihadapi. Misal memilih pekerjaan, pilihannya seperti yang diceritakan di atas. Memilih jurusan kuliah, nilai/pertimbangan yg mungkin ada: ridho orang tua, tren lingkungan (teman), atau peluang di masa depan. Biasanya, nilai lokal yang dipilih akan selaras dengan nilai global yang kita pegang, karena manusia sadar tak sadar akan menuntut konsistensi dalam dirinya.

Ada yang bilang, kita sekarang adalah produk dari berbagai keputusan yang kita ambil di masa lalu. Dan dalam keputusan yang kita ambil sendiri, saya percaya itu mencerminkan nilai global yang kita yakini. Maka kita bisa merefleksikan hidup, melihat keputusan-keputusan yang kita ambil sampai saat ini: sudah sejalankah dengan nilai yang selama ini kita percayai? 

Jika ternyata ada inkonsistensi, tanyakan pada hati: adakah selama ini saya menipu diri sendiri?

Menganggap bahwa semua ini sudah sesuai dengan apa yang kita imani, namun ternyata hanya mengikuti nafsu duniawi. Nau'uzubiLlah min zaalik..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Pranala Blog-nya anak Jagung

Yak berikut daftar pranala blog anak fasilkom ui 2009 alias Jagung. Dicari dan diambil dari berbagai sumber secara brute force. Yang diambil adalah blog dengan domain sendiri atau yang ada di blogspot, wordpress, blogsome, deviantart, tumblr, .co.cc, dan livejournal. Selain itu seperti formspring dan twitter tidak dimasukkan karena kayaknya bukan termasuk kategori 'blog'. Kalau ada yang ingin menambahkan atau justru tidak ingin dimasukkan, feel free to contact me :)

Satu Tahun Kemudian

Ibarat film, blog ini mengalami percepatan lini masa ke satu tahun mendatang, sejak entri pos terakhir ada. Tidak sama persis sih, karena memang secara harfiah setahun (lebih) kemudian baru nulis lagi, bukan percepatan. Hahaha, cuma bisa ketawa miris xD Banyak banget yang sudah terjadi selama setahun terakhir ini. Buat teman-teman saya yang terhubung di media sosial, khususnya facebook, tentunya tahu peristiwa bersejarah untuk saya tahun lalu: menikah. Sejak saat itu, dunia yang tadinya seakan diputar dalam pola warna grayscale dari kacamata seorang jomlo, berubah menjadi full color . :D sumber

Ekspektasi

Seorang kawan pernah nge-tweet, "If you expect nothing, you'll get everything". Sekilas sih emang bener, kalau kita gak ekspek apa2, maka semua yang kita dapat akan menjadi suatu hal yang cenderung menyenangkan. Ada yang bikin rumus, kebahagiaan = realita - harapan. Ketika harapan/ekspektasi dihilangkan (0), maka realita apapun yang terjadi akan menjadi sumber kebahagiaan. Sayangnya, semua itu hanya teori. sumber Walau secara pikiran sadar kita bilang ke diri sendiri, "Jangan berharap apa-apa", secara berulang-ulang, pikiran bawah sadar kita sesungguhnya sudah memiliki harapan itu sejak awal, bahkan sebelum kita memikirkannya. Bisa aja kita menyangkal, tapi tetap saja harapan atau ekspektasi itu tetap ada di sana. Maka, yang paling bisa kita lakukan bukan lah menghilangkan ekspektasi itu, tapi mengelolanya (manage). Dari mana datangnya ekspektasi? Dari mata turun ke hati katanya. Atau lebih tepatnya secara sains, dari mata naik ke otak. Artinya, segala i