Langsung ke konten utama

Batas

Jum'at kemarin, di Jakarta, khususnya daerah monas menjadi lautan manusia dengan mayoritas beratribut putih-putih. Kabarnya jumlah massa mencapai satu juta lebih, berasal dari jabodetabek dan luar kota lainnya. Aksi yang bertajuk 'Aksi Bela Islam' pada 4 November 2016 kemarin, jadi salah satu aksi terbesar yang pernah terjadi sepanjang masa reformasi di negeri ini. Sudah cukup banyak yang membahasnya, baik sisi positif pun negatif, di sosial media juga di media massa.

Semua itu berawal dari sebuah video gubernur yg kini sedang nonaktif, Ahok, yang sedang berbicara dengan gayanya ceplas-ceplos dan agak kelewat batas hingga akhirnya melukai perasaan umat Islam. Batas yg dimaksud di sini adalah tuduhan kepada 'ulama yang dikatakan Ahok 'membohongi' orang dengan surat Al-Ma'idah ayat 51. Walau memang dikenal suka berkata kasar dan asal ngomong, tapi untuk yang satu ini rasanya beliau sudah terlalu jauh melewati batasnya. Tak heran jika sebagian umat Islam menjadi marah dan turun ke jalan.
Dalam bermasyarakat, hidup kita diatur oleh 'batas-batas' yang disepakati menjadi aturan bersama. Ada yang bentuknya formal seperti undang-undang, lebih banyak lagi yang berupa informal atau tak tertulis. Jika ada seseorang yang melewati batas tersebut, sangat mungkin akan ada yang merasa terusik. Apalagi jika 'batas' atau adab yang dilanggar tersebut adalah batas yang sangat dijaga betul dalam sebuah agama.

Terlepas dari kejadian di atas, sesungguhnya hidup sebagai seorang muslim pun ada banyak batas, adab, atau norma lain. Tak terbatas pada urusan ibadah ritual, tapi juga hubungan sosial dengan sesama. Akhlak kepada kerabat, tetangga, pemimpin, interaksi dgn lawan jenis non-mahrom, dan banyak lainnya pun banyak diajarkan oleh RasuluLlah SAW. Namun, kadang kala kita tak sadar telah melewatinya, walaupun mungkin cuma selangkah dua langkah.

Sebagai orang beriman, kita meyakini musuh nyata bersama, yaitu syaitan, akan berupaya sekuat tenaga untuk membuat kita melanggar batas-batas tersebut. Dari ajakan terang-terangan untuk berbuat dosa, sampai ajakan halus yang sekilas terlihat baik namun tetap melewati batas. Cara terakhir inilah yang mungkin paling sulit, setidaknya buat saya, disadari ketika kita akan melakukan sesuatu. Tak jarang kita mencari 'pembenaran', padahal nyatanya kita makin jauh dari 'kebenaran'. Astagfirullah..

Karena itulah kita butuh 'rem', atau pengingat saat kita mulai melewati batas. Bisa berupa intropeksi diri, seperti saran 'Umar r.a. untuk menghisab diri kita sebelum dihisab oleh Allah, bisa juga nasihat dari guru atau teman-teman kita yang lebih paham ilmu agama. Agar jangan sampai, kita tak sadar telah melewati batas, dan semakin jauh..hingga akhirnya terperosok ke dalam jurang. Na'udzubillah min dzalik.

Semoga Allah selalu menjaga dan meneguhkan hati kita dalam agama dan ketaatan yg diridhaiNya, serta dijauhkan menjadi bagian dari kelompok hambaNya yang melampaui batas. Aamiin..

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
(Q.S. Al-A'raf : 55)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Pranala Blog-nya anak Jagung

Yak berikut daftar pranala blog anak fasilkom ui 2009 alias Jagung. Dicari dan diambil dari berbagai sumber secara brute force. Yang diambil adalah blog dengan domain sendiri atau yang ada di blogspot, wordpress, blogsome, deviantart, tumblr, .co.cc, dan livejournal. Selain itu seperti formspring dan twitter tidak dimasukkan karena kayaknya bukan termasuk kategori 'blog'. Kalau ada yang ingin menambahkan atau justru tidak ingin dimasukkan, feel free to contact me :)

Satu Tahun Kemudian

Ibarat film, blog ini mengalami percepatan lini masa ke satu tahun mendatang, sejak entri pos terakhir ada. Tidak sama persis sih, karena memang secara harfiah setahun (lebih) kemudian baru nulis lagi, bukan percepatan. Hahaha, cuma bisa ketawa miris xD Banyak banget yang sudah terjadi selama setahun terakhir ini. Buat teman-teman saya yang terhubung di media sosial, khususnya facebook, tentunya tahu peristiwa bersejarah untuk saya tahun lalu: menikah. Sejak saat itu, dunia yang tadinya seakan diputar dalam pola warna grayscale dari kacamata seorang jomlo, berubah menjadi full color . :D sumber

Ekspektasi

Seorang kawan pernah nge-tweet, "If you expect nothing, you'll get everything". Sekilas sih emang bener, kalau kita gak ekspek apa2, maka semua yang kita dapat akan menjadi suatu hal yang cenderung menyenangkan. Ada yang bikin rumus, kebahagiaan = realita - harapan. Ketika harapan/ekspektasi dihilangkan (0), maka realita apapun yang terjadi akan menjadi sumber kebahagiaan. Sayangnya, semua itu hanya teori. sumber Walau secara pikiran sadar kita bilang ke diri sendiri, "Jangan berharap apa-apa", secara berulang-ulang, pikiran bawah sadar kita sesungguhnya sudah memiliki harapan itu sejak awal, bahkan sebelum kita memikirkannya. Bisa aja kita menyangkal, tapi tetap saja harapan atau ekspektasi itu tetap ada di sana. Maka, yang paling bisa kita lakukan bukan lah menghilangkan ekspektasi itu, tapi mengelolanya (manage). Dari mana datangnya ekspektasi? Dari mata turun ke hati katanya. Atau lebih tepatnya secara sains, dari mata naik ke otak. Artinya, segala i