Langsung ke konten utama

Membangun Idealisme



Sebagai fresh graduate, kini pertanyaan yg sering didengar adalah: udah kerja dimana? Dan ketika saya jawab, ditanya lagi: itu perusahaan apa dimana? Sambil (yg nanya itu) nunjukin muka penasaran, dan mungkin kurang puas walau udah saya jelasin. Mungkin kurang prestige kali ye :p. Saya sendiri suka nanya gitu sih pas ketemu sama temen kuliah, dan ternyata gak sedikit yg masih jadi job-seeker. Bersyukur banget gak terlalu ngalamin masa-masa begitu.

Bekerja atau mencari nafkah tentu sudah jadi kewajiban tiap dewasa, apalagi yang baru saja tamat kuliah sarjana. Seketika saja terdapat ribuan SDM siap pakai yang dapat direkrut oleh pelaku industri untuk terus memutar roda ekonomi di negara ini. Ada sebagian kecil sarjana yang beruntung sudah memiliki pekerjaan tetap atau dijanjikan pekerjaan tetap di berbagai perusahaan. Namun sebagian besar masih harus berkompetisi dengan ribuan job-seeker lain, tak hanya teman seangkatan tapi juga ribuan pengangguran lain yang sudah ada.

sumber

 Kalau diperhatikan, para lulusan dari UI itu insya Allah relatif mudah untuk dapet pekerjaan. Walau mungkin awalnya harus apply sana sini, tapi ujung-ujungnya dia sendiri jadi kebingungan mau menuhin panggilan interview yang mana aja, hehe. Nah kalau udah gitu kadang saya suka penasaran—karena gak ngalamin sampe segitunya—apa sih kriteria atau parameter seseorang milih kerja atau apply di situ? Saya bingungnya sih, ada yang asal coba apply mana aja padahal dia gak minat2 banget, ada yang milih satu dua aja dan alhamdulillah langsung dapet, ada juga yang gak apply kemana2 lagi—kayak saya—dan milih kerja di tempat yg sebelumnya pernah kerja di situ (entah dulunya internship atau part-time). Dugaan awalnya sih, alasan orang milih kerja atau apply kerja di suatu tempat adalah: (1) yang penting kerja dulu deh! (2) gw passion/minatnya emang di sini (3) perusahaannya bonafit bok, gajinya gede (reputasi++)

Nah, apakah seperti itu? Entahlah, setidaknya yang saya lihat sebagian besar terlihat kayak gitu. Simply say, ada dua parameter sebenernya, yaitu minat dan reputasi perusahaan. Ada yang milih berkarir di bidang yang diminati walau mungkin gajinya bersaing, bukan bersaing dengan perusahaan lain tapi bersaing dengan pengeluarannya xD (alasan 2). Ada juga yang karena perusahaannya bonafit (dan biasanya gajinya oke punya) walau kerjaannya gak minat2 banget (alasan 3). Bisa juga malah bodo amat suka gak kerjanya atau gajinya berapa, yg penting gak nganggur deh! (1)

Terus kalau perusahaan atau gajinya oke dan kerjaannya emang minat gimana? Ya ngapain nanya lagi, mau pamer hah?? *lebay* xD. Itu kan harapan semua orang, bersyukurlah kalau emang begitu. Jadi, apakah dua parameter tersebut—minat dan reputasi perusahaan—menjadi penentu sesorang memilih kerja di mana?

Mungkin ada yang nanya, emang gw gak mikir gitu? Hm, sulit juga jawabnya. Honestly, yes I have think about that. Pengen sih kerja yang sesuai minat, di perusahaan multinasional misalnya. Terus kenapa milih kerja di Badr Interactive, perusahaan start up yang baru berumur dua tahun? Nah ini dia yang bikin saya nulis pos ini :D. Saya tanya kolega saya di Badr (ciri2: seangkatan, kader partai xD), kenapa milih kerja di Badr? Terus dijawab, “karena gak ada kerjaan lain”. Saya terusin, “terus kenapa gak apply kerja di tempat lain?”, hening sebentar, saya candain, “karena udah kerja di Badr ya?”, sontak dia jawab “ya itu dia, karena udah kerja di Badr, haha”. Entah becanda juga atau emang bener begitu :D.

Saya sendiri sering bertanya ke diri sendiri, kenapa ya milih kerja di sini? Waktu itu ada yang nanya sekilas, saya jawab sekenanya aja, “ya ngelanjutin aja”, dia nyeletuk “gak ada alasan yang lebih keren apa?”. Beberapa saat kemudian mikir, eh dapet jawaban lain, “Mau tau alasan kerennya?”, saya jawab tantangannya, “Membangun idealisme”.

Jebret! Apa maksudnya dengan “Membangun idealisme”? entahlah, kedengeran keren aja, hehe. Mungkin karena visi perusahaannya yang terdengar idealis, saya jadi punya jawaban seperti itu. Visi yang dari awal kerja di sini tak berubah dan yang paling saya ingat, yaitu “Meninggikan Islam melalui IT”. It’s so wow, belum pernah denger cuy visi perusahaan kayak gitu. Idealis sekali dibanding perusahaan lain, dimana biasanya untuk menjadi “excellent”, “leading corporation”, dsj yg ujung-ujungnya ya menjadi pemuncak pasar dan nyari untung. Emang Badr gak nyari untung? Ya nyari juga, tapi itu bukan tujuan. Saya alami sendiri, direksinya beberapa kali nunda ngambil gaji agar para karyawannya duluan bisa dapet gaji. Dan kalau mereka emang nyari untung, mungkin Badr itu sendiri gak akan terbentuk, atau bertahan hingga sekarang.

Mungkin ada juga sih yang seperti Badr, tapi dari yang saya pernah denger, Badr lah yang pertama. So idealist, di tengah-tengah industri yang pragmatis oportunis. Itulah mungkin mengapa saya milih untuk ngelanjutin kerja di Badr dulu, untuk ikut membangun idealisme tersebut, setidaknya setahun ke depan. Harapannya, setahun ke depan Badr sudah jadi lebih besar dan sudah ada orang lain yang bisa gantiin peran saya. Jadi saat saya memilih untuk membangun mimpi saya di tempat lain, Badr terus menjadi besar dan kuat, selangkah lebih dekat untuk mencapai visinya.

Ya, saya akui memang kerja di Badr gak terlalu sesuai dengan minat saya, tapi bukan berarti saya gak enjoy atau gak suka. Sebenarnya buat saya, kerja apapun yang sesuai bidang keahlian (computer science related) insya Allah asik-asik aja. Di sisi lain, saya punya minat khusus di bidang lain dan punya mimpi besar untuk Indonesia di bidang tersebut. Apakah itu? Mudah-mudahan bisa cerita di tulisan berikutnya :)

Itulah kira-kira kenapa akhirnya saya memutuskan untuk kerja di Badr sampai setahun ke depan. Insya Allah tahun depan akan resign dari sana, entah untuk lanjut S2 ataupun pindah tempat kerja. Lagi-lagi saya berharap, kehadiran saya di Badr semoga tidak menjadi beban saja, tapi justru punya peran dalam mengembangkan perusahaan, membawa Badr selangkah lebih dekat dengan visinya.

Dan untuk teman-teman yang masih mencari pekerjaan di luar sana, terus semangat mengejar impiannya! Awal langkah memang keniscayaan untuk berjuang dan bersusah payah. Karena jika tidak begitu, kita mungkin takkan mengecap manisnya hidup. Ngikutin kata om Billy Boen, see you on top! :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Pranala Blog-nya anak Jagung

Yak berikut daftar pranala blog anak fasilkom ui 2009 alias Jagung. Dicari dan diambil dari berbagai sumber secara brute force. Yang diambil adalah blog dengan domain sendiri atau yang ada di blogspot, wordpress, blogsome, deviantart, tumblr, .co.cc, dan livejournal. Selain itu seperti formspring dan twitter tidak dimasukkan karena kayaknya bukan termasuk kategori 'blog'. Kalau ada yang ingin menambahkan atau justru tidak ingin dimasukkan, feel free to contact me :)

Satu Tahun Kemudian

Ibarat film, blog ini mengalami percepatan lini masa ke satu tahun mendatang, sejak entri pos terakhir ada. Tidak sama persis sih, karena memang secara harfiah setahun (lebih) kemudian baru nulis lagi, bukan percepatan. Hahaha, cuma bisa ketawa miris xD Banyak banget yang sudah terjadi selama setahun terakhir ini. Buat teman-teman saya yang terhubung di media sosial, khususnya facebook, tentunya tahu peristiwa bersejarah untuk saya tahun lalu: menikah. Sejak saat itu, dunia yang tadinya seakan diputar dalam pola warna grayscale dari kacamata seorang jomlo, berubah menjadi full color . :D sumber

Ekspektasi

Seorang kawan pernah nge-tweet, "If you expect nothing, you'll get everything". Sekilas sih emang bener, kalau kita gak ekspek apa2, maka semua yang kita dapat akan menjadi suatu hal yang cenderung menyenangkan. Ada yang bikin rumus, kebahagiaan = realita - harapan. Ketika harapan/ekspektasi dihilangkan (0), maka realita apapun yang terjadi akan menjadi sumber kebahagiaan. Sayangnya, semua itu hanya teori. sumber Walau secara pikiran sadar kita bilang ke diri sendiri, "Jangan berharap apa-apa", secara berulang-ulang, pikiran bawah sadar kita sesungguhnya sudah memiliki harapan itu sejak awal, bahkan sebelum kita memikirkannya. Bisa aja kita menyangkal, tapi tetap saja harapan atau ekspektasi itu tetap ada di sana. Maka, yang paling bisa kita lakukan bukan lah menghilangkan ekspektasi itu, tapi mengelolanya (manage). Dari mana datangnya ekspektasi? Dari mata turun ke hati katanya. Atau lebih tepatnya secara sains, dari mata naik ke otak. Artinya, segala i